Kamis, 21 Agustus 2014

Penyakit yang Harus Dihindari oleh Seorang Guru



Haloo para pembaca yang setia! Bertemu lagi dengan admin yang ganteng :p
Kali ini admin ingin membahas tentang penyakit yang menghantui para guru yang harus sangat-sangat dihindari, tidak boleh sampai terjangkit dan hinggap, apalagi sampai kronis stadium dewa -,-
Guru itu ibaratkan sebuah kompas, pelajaran ibaratkan sebuah hutan belantara, dan kelompok penjelajah ibaratkan pelajar. Nah ketika dalam proses belajar mengajar maka seorang guru inilah sebagai inti suksesnya perjalanan. Ketika seorang guru telah terjangkit oleh penyakit yang berbahaya ini maka akan sama halnya dengan sebuah kelompok penjelajah yang sedang menjelajah hutan belantara dengan kompas yang error, walaupun niat mereka kuat tentu akan bermasalah juga perjalanan, parahnya mereka bisa tersesat -,-
Itulah gambarannya menurut admin (No protes!) :p





Oke, langsung saja inilah penyakit-penyakit berbahaya yang sangat harus dihindari oleh seorang guru atau tenaga pelajar seperti yang dilansir oleh http://edukasi.kompasiana.com, cekidot :

1. MuAL = Mutu Amat Lemah 
Meskipun pemerintah sudah melakukan kebijakan-kebijakan demi meningkatkan mutu guru di Indonesia, tampaknya semua kebijakan itu belum sepenuhnya menyadarkan para guru di Indonesia. Peningkatan anggaran pendidikan sampai tunjungan yang diberikan pemerintah Indonesia tidak juga menjadi salah satu hal yang langsung mengubah paradigma guru untuk meningkatkan mutu dan prestasi. Masih banyak guru-guru yang sampai hari ini belum memenuhi kualifikasi pendidikan yang memadai. Pemerintah sebenarnya sudah menyadari hal itu. Misalnya melalui pendidikan guru-guru yang belum memiliki tingkat akademi S-1 sudah diberi keringanan biaya dan menganjurkan untuk melanjutkan perkuliahan. Permasalahan akan timbul bagi para guru kita yang sudah berumur tua. Tampaknya kebijakan ini sulit diterapkan sehingga tidak heran guru-guru yang sudah mengabdi 10 s.d. 40 tahun tidak mau mengikutinya. Mau tidak mau pemerintah akan memikirkan langkah untuk itu. Seperti langkah yang ditawarkan lewat menteri pendikian yaitu dengan pensiun dini. Artinya, sebelum masa bakti guru genap 60 tahun mereka akan segera dipensiunkan. Sangat ironis memang mengingat satu-satunya pencaharian guru itu adalah sebagai pengajar. 

2. KuDis = Kurang Disiplin 
Dari penyakit yang kedua ini, penyakit ini barang kali masih momok yang sulit untuk diubah. Guru banyak yang menegaskan kepada siswa harus disiplin. Namun, sebaliknya terkadang masih ada juga guru yang tidak disiplin. Jangankan guru/dosen, dibidang profesional yang lain juga masih terjadi hal yang demikian. Misalnya, pejabat-pejabat yang sering datang terlambat. Alasannya klasik “banyak urusan”. Selain itu, bisa saja terjadi karena budaya kita yang masih mau mengulur-ngulur waktu. Kita belum pernah bisa untuk menghargai waktu dengan benar. Kita seolah dapat mengembalikan waktu-waktu yang terbuang. Padahal jelas-jelas perbuatan itu tidaklah mungkin.  Fenomena yang terjadi pada guru yang tidak disiplin disebabkan oleh faktor ekonomi. Bayangkan saja guru yang seharusnya mengajar di kelas harus mencari uang tambahan sebelum mengajar. Bahkan lebih ironi lagi, guru akan lebih cepat pulang demi mengejar setoran dari pekerjaan yang lainnya. Kalau hal itu terjadi, guru tersebut pasti dalam kondisi dilema. Di satu sisi ia harus memikirkan anak dan isterinya dan di sisi lain ia juga harus memikirkan peserta didiknya. Hal yang lebih miris lagi, jika guru sengaja datang terlambat tanpa ada alasan yang pasti. Tentulah guru yang demikian hanya berorientasi pada gaji semata atau saya lebih senang mengatakannya dengan akronim Magabu alias makan gaji buta. 

3. AsMA = Asal Masuk KelAs 
Dari penyakit yang ketiga ini, guru masih terlihat kaku dan sesuka hatinya untuk memasuki kelas. Tanpa adanya persiapan yang matang, guru beranggapan bahwa ilmu yang dimilikinya selama ini sudah cukup untuk diajarkan. Sementara kita mengetahui secara pasti bahwa guru sebagai orang yang menjadi tempat peraduan di sekolah harus terus mengetahui informasi-informasi terbaru. Guru-guru harus dapat meng-update meng-upgrade dirinya supaya benar-benar terlihat ahli dalam strategi mengajarkan materi. Dari hal itu, guru akan menciptakan suasana yang dinamis dan menyenangkan. Guru juga akan menghindarkan diri menyuruh siswa menerapkan strategi CBSA (Catat buku sampai habis). Dengan satu perintah, siswa yang lain tunduk melakukannya. Bisa berbahaya. 

4. KuSta = Kurang Strategi 
Untuk penyakit yang keempat ini, kondisi guru masih dipengaruhi oleh gaya mengajar yang pramodern. Guru masih lebih yakin dengan gaya mengajar yang ia anggap sudah paling hebat, tetapi sangat ketinggalan dengan strategi-strategi pembelajaran sekarang. Tidak zaman lagi guru hanya mengandalkan suara emasnya. Guru harus mampu menciptakan suara-suara lain demi penyampaian materi yang baik pada siswa. Guru harus mampu memilih strategi yang tepat manakala menemukan keanehan-keanehan yang terjadi saat proses pembelajaran siswa. Tanpa adanya strategi yang baik, bagaimana mungkin guru dapat memenangkan jiwa-jiwa anak yang haus akan ilmu. Mustahil dapat menang dalam permainan catur jika langkahnya hanya begitu-begitu saja. Mustahil juga guru hanya berceramah selama berjam-jam tanpa adanya penggunaan strategi yang tepat. Bisa-bisa guru tersebut yang akan kehabisan suara. Apalagi tuntutan Kurikulum 2013 saat ini, guru benar-benar dihadapkan mampu memilih strategi pembelajaran yang tepat guna. 

5. TBC = Tidak Banyak Cara 
Dari penyakit kronis yang kelima, sebenarnya masih terkait dengan penyakit yang keempat. Hanya saja, penyakit yang satu ini lebih mengarah pada kurangnya pengelolaan kelas dengan baik. Secara definisi, strategi dan cara hampir sama maknanya. Namun, secara teknis penerapannya tentu berbeda. Artinya, jika guru sudah mempunyai strategi mengajar yang baik tentulah guru tersebut tahu cara-cara apa yang ia lakukan demi menerapkan strateginya itu dengan baik. Fenomena di sekolah, terkhusus di daerah-daerah yang jauh dari jangkauan internet hal itu akan terlihat dengan jelas. Ditambah lagi dengan faktor usia guru-guru kita yang boleh dikatakan sebagian sudah cukup merasakan manis-pahitnya mengajar di sekolah. 

6. KRam = Kurang TeRampil 
Dari penyakit yang keenam ini, guru terlihat biasa-biasa saja. Dalam arti, tuntutan guru harus terampil belum terpenuhi. Masih ada guru yang tidak dapat mempertanggungjawabkan keahlian bidangnya. Sebagai contoh, sebagai guru Bahasa Indonesia belum mampu mengajarkan musikalisasi puisi. Alasannya, mungkin sang guru tersebut kurang terampil dalam hal bermusik. Padahal, jika guru tersebut dapat bermain salah satu alat musik, tentunya akan mempermudah materi musikalisasi puisi dipahami bahkan langsung diterapkan siswa pada bentuk-bentuk puisi yang ia senangi. Selain menjelaskan secara teori, guru tersebut dapat mendemonstrasikan langsung dihadapan peserta didik. Selain itu, guru juga mampu mencari alternatif-alternatif lain saat mengajarkan musikalisasi puisi. Memang, tidaklah semua guru Bahasa Indonesia harus dapat bermain alat musik. Akan tetapi, hal itu perlu diwujudkan sebagai salah satu bentuk keterampilan kita sebagai pengajar Bahasa Indonesia. Satu contoh lainnya, guru-guru yang mengajarkan ilmu-ilmu kejuruan harus mampu membuktikan keahliannya. Tidak mungkin mengajarkan teori mesin sepeda motor kalau guru tersebut belum pernah membongkar mesinnya. 

7. TiPuS = Tidak Punya Selera 
Dari penyakit yang ketujuh ini, guru terlihat seperti orang yang kelaparan, tetapi kehilangan nafsu makan. Masih ada saja guru yang ingin menjadikan profesi guru sebagai mata pencahariannya tanpa didukung apakah guru tersebut benar-benar selera untuk mengajar di kelas. Fenomena itu serta merta muncul bak jamur yang tumbuh saat musim hujan. Demikian profesi guru terang-terangan bertambah peminatnya dikarenakan adanya tunjungan profesi. Darah mengajarnya tidak ada, tetapi dipaksakan oleh nilai gaji yang cukup menjanjikan. Hasilnya adalah sang guru ketika melewati tanggal awal minggu pertama mengajar semangatnya begitu menggebu-gebu. Minggu kedua dan ketiga seolah guru tersebut tidak memiliki selera untuk mengajar. Akhirnya, sampai minggu keempat selera itu hilang sama sekali dan akan berubah kembali seperti semula. Begitu terus-menerus layaknya sebuah siklus yang tidak pernah putus. 

8. ASaM UrAT = Asal Susun Materi, Urutan kurAng AkuraT 
Dari penyakit yang kedelapan ini, guru terlihat menjadi sosok penyanyi yang sesuka hatinya menyanyikan lagu tanpa dengan nada yang tepat. Kalau lagunya campur sari, lagunya masih dapat dipahami dengan baik. Bagaimana kalau lagunya tidak bernada sama sekali. Tentunya ruh dari lagu itu akan hambar dan tidak dapat dinikmati sebagai lagu yang sebenarnya indah. Sama halnya dengan guru yang hanya mengajarkan materi sesuka hatinya. Hanya mengandalkan pengalaman-pengalaman bahkan mengandalkan lamanya ia menjadi seorang guru. Jadi, selama masa kerjanya mengajar selama itu pula ia mengulangi perkataannya. Maka tidak heran, kita melihat dalam dunia kampus bahwa bentuk diktat dari 20 tahun yang lalu masih sama dengan bentuk diktat yang sekarang. Tinggal mengganti cover depannya saja. Tampak dari luar sudah berganti, tetapi dari segi isi tidak akurat lagi. 

9. LeSu = Lemah Sumber 
Dari penyakit kesembilan ini, guru tampaknya belum mendapat sumber-sumber pembelajaran yang baik. Apalagi bagi mereka yang memang tinggal di desa daerah terpencil. Bahkan bagi mereka yang sedang mengajar di daerah tertinggal dan diperbatasan. Kelemahan sumber pembelajaran akan mengakibatkan akses pengetahuan yang mumpuni akan menjadi bias bagi anak-anak yang membutuhkannya. Sejauh ini, akses informasi sebenarnya sangat mudah memerolehnya. Hal itu dengan adanya alat-alat yang canggih seperti tablet, ipod, dan handphone yang bersifat cepat dan tepat dalam mencari informasi. Semuanya itu boleh dijadikan sumber pengetahuan guru guna menunjang kinerjanya dalam hal mengajarkannya kepada siswa.  Kelemahan sumber pembelajaran yang diterapkan guru juga menjadikan guru seperti “katak dalam tempurung”. Pengetahuan guru hanyalah sebatas lingkungan kecil saja. Padahal lingkungan pembelajaran sangat luas dan sangat beragam. 

10. WTS = Wawasan Tidak Sistematis 
Penyakit terakhir dari seorang guru, yaitu wawasan guru yang tidak sistematis. Peyakit ini juga sebenarnya turut memengaruhi perilaku guru saat mengelola kelas. Penyakit ini juga adalah sebagai dampak tidak adanya persiapan yang matang bagi guru. Sebenarnya sebelum pembelajaran dimulai tentunya guru harus mampu menyampaikan inti-inti pembelajaran yang akan dicapai, yaitu yang tampak pada silabus dan RPP. Namun, kenyataannya ketika guru hendak mengajar hal itu diabaikan. Padahal dengan memberitahukan hal-hal yang akan dipelajari tentu akan membantu sang guru membentuk pola wawasan yang sistematis. Apalagi guru mampu menghadirkan peta konsep di awal pembelajaran akan memabantu guru memahamkan pencapaian-pencapaian yang diharapkan dalam pembelajaran tersebut. Ketika guru sudah mampu membuat peta konsep/berarti guru tersebut satu langkah sudah membentuk pola pengetahuanannya secara sistematis. 

Itulah beberapa penyakit berbahaya yang harus dihindari oleh para guru dan tenaga pengajar. Sebanarnya artikel kali ini difokuskan untuk para guru atau calon guru. Admin berharap mereka selalu terjauh dari penyakit-penyakit ini agar mutu pendidikan di Indonesia bisa semakin baik.

Sumber : http://edukasi.kompasiana.com/2013/09/16/sepuluh-penyakit-kronis-seorang-guru-592203.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar